Referensi Tugas Student Garden, Taman CC ITB

 

Berikut ini adalah salah satu tugas Planting Design tahun ajaran 2013/2014. Semoga berguna bagi mahasiswa/mahasiswi yang membutuhkan referensi terkait Planting Design. Tugas ini berlokasi di sisi selatan CC Timur. Kurang lebih kami ditugaskan untuk merancang taman kecil yang tidak terdesain dengan baik, tepatnya di sisi selatan Lapangan Cinta. Kami memutuskan untuk menambahkan beberapa tanaman bunga dengan formasi diagonal. Silahkan dilihat-lihat hasil tugas kami. Semoga dapat menjadi referensi yang cukup baik.
VMN-0 VMN-1a VMN-1b VMN-1c VMN-1d VMN-2 VMN-3 VMN-4 VMN-5 VMN-6 VMN-7 VMN-8

Mengungkap Bukti Kejayaan Sriwijaya dalam Taman Purbakala Sriwijaya

Mengungkap Bukti Kejayaan Sriwijaya dalam Taman Purbakala Sriwijaya

Veronika Joan Putri

Arsitektur Lanskap | Institut Teknologi Bandung

vjpkoentjoro@hotmail.com

 

Pengantar

Kerajaan Sriwijaya adalah salah satu kerajaan maritim terbesar di Nusantara. Salah satu bukti kebesarannya dapat terlihat dari berbagai penemuan artefak dan catatan-catatan perjalanan biksu Tiongkok yang menggambarkan keberadaan Sriwijaya pada masa itu. Tentu saja salah satu bukti kebesaran dari Kerajaan Sriwijaya adalah perkembangan arsitektur dan lanskap yang kini masih terdapat di bumi Sriwijaya. Peninggalan lanskap atau archaeological landscape terbesar pada masa Sriwijaya adalah wanua atau permukiman padat Sriwijaya yang kini dapat dilihat di tepian Sungai Musi. Pemukim pada masa itu sudah membuat jaringan kanal dan parit terpadu untuk mengalirkan air dan batas permukiman, serta membuat pulau-pulau buatan sebagai area reklamasi sekaligus tempat untuk beristirahat. Hal ini menunjukkan bahwa kemajuan peradaban sekaligus kemajuan teknologi  telah terjadi pada masa itu. Selain itu, hal ini juga menunjukkan bahwa Kerajaan Sriwijaya adalah salah satu kerajaan yang memiliki kejayaan pada masa itu. Kini, sisa permukiman padat masa Sriwijaya tersebut telah dipugar dan dibangun Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya. Tulisan ini akan menelisik jejak sejarah Sriwijaya yang terdapat di dalam Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya.

Sejarah Umum Kerajaan Sriwijaya

Indonesia sejak dahulu sudah dikenal sebagai negara kepulauan atau disebut juga archipelago state, yang berarti kumpulan pulau-pulau yang dipisahkan oleh laut. Di dalam perjalanan sejarah, Indonesia atau yang dulu lebih dikenal dengan Nusantara, pernah mengalami kejayaan pada bidang maritim, salah satunya ditandai dengan pernah berdirinya kerajaan-kerajaan maritim yang menjadi tonggak perdagangan di seluruh Nusantara. Salah satu kerajaan terbesar di Nusantara adalah kerajaan Sriwijaya. Kerajaan ini menjadi kerajaan yang menguasai sebagian besar perdagangan karena menguasai sebagian besar wilayah perairan di Nusantara, yaitu Laut Jawa, Laut Banda, dan sebagian laut di Indonesia Timur. Bahkan, kerajaan ini juga menjalin hubungan dagang dengan negara luar, diantaranya adalah India, Thailand, Kamboja, Cina, Filipina, dan Afrika.

Kerajaan Sriwijaya atau disebut juga Kadatuan Sriwijaya berdiri pada abad ke 7, dibuktikan dengan catatan perjalanan seorang biksu yang sedang mengembara memperdalam ilmu agama bernama I Tsing pada tahun 671 Masehi. Juga dibuktikan dengan ditemukannya prasasti Kedukan Bukit yang diperkirakan dibuat pada masa kepemimpinan Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Selain itu, keberadaan Sriwijaya ditandai dengan ditemukannya prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 682. Dalam prasasti Kota Kapur dijelaskan bahwa pada saat itu telah berdiri sebuah kerajaan yang berhasil melancarkan ekspedisi militer ke Bhumi Jaya, yang pada saat itu membelot dari Sriwijaya. Kerajaan ini juga berhasil tumbuh dan mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka hingga Selat Karimata.

Kerajaan ini merupakan kerajaan terbesar dengan kekuasaan yang membentang dari Kamboja hingga pesisir Kalimantan. Kejayaan maritim yang dimiliki oleh Kerajaan Sriwijaya dikarenakan Sriwijaya memiliki aneka komoditas perdagangan seperti kapur barus, rempah-rempah, gading, emas, dan timah. Kejayaan bahari Sriwijaya juga digambarkan oleh Al-Masudi, seorang pendatang dari Arab pada tahun 955. Al-Masudi menuliskan bahwa Sriwijaya adalah kerajaan besar yang kaya raya, memiliki balatentara yang banyak, juga memiliki kapal yang tercepat di seluruh Nusantara. Kapal yang dimaksudkan adalah kapal kayu bercadik ganda dan bertiang layar yang mampu melayari seluruh Nusantara dengan waktu yang singkat. Pada masa itu, Sriwijaya juga berhasil mendominasi rute perdagangan dan mengendalikan bea cukai dari setiap kapal yang masuk ke pelabuhannya.

Kerajaan Sriwijaya diperkirakan mulai runtuh pada abad ke 11. Hal ini dikarenakan oleh penyerangan raja dari Dinasti Chola, India Selatan kepada Kerajaan Sriwijaya yang mengakibatkan Kerajaan Sriwijaya akhirnya tunduk dibawah kekuasaan Raja Rajendracholadewa dari Dinasti Chola. Selain itu, Kerajaan Sriwijaya diperkirakan runtuh karena berkurangnya pemasukan finansial, hal ini dikarenakan faktor alam bumi Sriwijaya yang mulai berubah. Terjadi pengendapan lumpur di Sungai Musi yang menyebabkan kapal tidak dapat masuk dan berlabuh di bumi Sriwijaya. Hal ini mengurangi pendatang yang masuk dan komoditas yang dimiliki Sriwijayapun tidak semua terjual. Puncak keruntuhan Kerajaan Sriwijaya terjadi pada abad ke 14, pada saat Kerajaan Majapahit menyerang Kerajaan Sriwijaya dan membuat Kerajaan Sriwijaya takluk dalam upaya penyatuan Nusantara.

Sejak keruntuhannya hingga tahun 1920, kerajaan besar ini terlupakan oleh masyarakat Indonesia. Namun kemudian seorang peneliti dari Perancis, George Coedes mempublikasikan penemuannya mengenai San-fo-ts’I atau Shih-li-fo-shih dalam Le Royaume de Crivijaya (berdasarkan catatan sejarah orang Tionghoa yang mengambarkan bumi Sriwijaya pada masa itu). Pada tahun yang sama juga ditemukan bukti fisik di Desa Sungai Pasir, Sumatera Selatan, yaitu berupa sebuah perahu kuno yang beberapa bagian kayunya sudah dipreteli. Perahu ini dibuat dengan teknik bangsa Austronesia, yaitu dengan teknik pasak kayu dan papan ikat yang diikat dengan tali ijuk. Selain perahu kuno, ditemukan pula sejumlah artefak lain, yaitu tembikar dan alat kayu. Berbagai temuan ini membangkitkan kembali pengetahuan Indonesia bahwa di tanah Indonesia pernah berdiri sebuah kerajaan maritim besar, yaitu Kerajaan Sriwijaya.

Warisan Peninggalan Kerajaan Sriwijaya

Tidak seperti kerajaan lainnya yang memiliki peninggalan sejarah berupa istana, Kerajaan Sriwijaya tidak memiliki peninggalan istana atau benteng. Hal ini dikarenakan pusat Kerajaan Sriwijaya yang ‘mendesa’. Berlokasi di tepian Sungai Musi dan hutan lebat, menimbulkan resiko air sungai yang kerap meluap. Selain itu, tidak terdapat gunung berapi yang menyimpan batuan, sehingga bahan utama yang digunakan adalah kayu dan bambu yang tentunya cepat lapuk. Diperkirakan rumah-rumah pada masa itu berupa rumah panggung dengan tiang tinggi dari kayu dan bambu agar ketika air sungai pasang, rumah tidak terkena banjir. Antar rumah panggung dibuat jembatan kayu sebagai jalur penghubung. Rumah peribadatan dan istana dibangun dengan struktur batu bata di atas bukit (salah satunya dapat dilihat di Bukit Siguntang). Pemakaian material-material ini menyebabkan bangunan cepat rusak, dan masa demolisinya hanya mencapai 200 tahun.

Beberapa warisan peninggalan Kerajaan Sriwijaya dapat dilihat dari arca, prasasti, dan candi, diantaranya adalah Arca Buddha langgam Amarawati di Bukit Siguntang, Arca Maitreya di Komering, Prasasti Telaga Batu, Prasasti Kota Kapur di Bangka, Prasasti Karang Berahi, Prasasti Kedukan Bukit, Prasasti Talang Tuo, Prasasti Boom Baru,  Candi Muara Takus, Candi Gumpung di Muaro Jambi, dan Candi Borobudur di Jawa Tengah.

Prasasti yang paling penting yang menceritakan mengenai keberadaan Sriwijaya adalah prasasti Kedukan Bukit. Prasasti ini ditemukan pada tahun 1920 oleh M. Bantenburg di tepian Sungai Tatang yang mengalir ke Sungai Musi, Kampung Kedukan Bukit. Di dalam prasasti ini tertulis sebuah cerita bersejarah yang menjadi salah satu bukti terjadinya peristiwa besar pada masa itu. Di dalam prasasti tertulis “Pada tanggal 23 April 682, Dapunta Hyang melakukan siddhayatra[1]. Pada tanggal 19 Mei tahun yang sama, Ia berangkat dari Minanga dengan membawa 20.000 pasukan dan 200 kotak perbekalan di perahu. Pasukan yang berjalan kaki berjumlah 1.312 orang. Tiba di Mukha Upang dengan senang hati. Pada tanggal 16 Juni, dengan lega gembira ia mendirikan wanua. Sriwijaya jaya. Siddhayatra sempurna.[2]

60 tahun setelah ditemukannya prasasti ini, tafsir mengenai prasasti berhasil dilakukan. Para peneliti menyepakati bahwa Dapunta Hyang Sri Jayanasa melakukan perjalanan ekspedisi militer di sekitar Sungai Musi. Setelah melakukan penaklukan di beberapa tempat, para prajurit Dapunta Hyang Sri Jayanasa berkumpul di Mukha Upang dan mendirikan permukiman di dekat Mukha Upang. Mukha Upang ditengarai berada di sekitar Sungai Musi. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya sisa-sisa peradaban Sriwijaya disana. Kini kawasan tersebut dinamai Karanganyar. Kawasan Karanganyar merupakan lereng dan kaki dari Bukit Siguntang di sebelah selatan, merupakan dataran hingga tepian Sungai Musi. Daerah ini diperkirakan sebagai pemukiman yang didirikan oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa karena terdapat beberapa kanal terpadu dan pulau-pulau buatan. Selain itu, terdapat pula temuan-temuan seperti manik-manik, tembikar, serta struktur pondasi tembok. Hal ini menunjukkan bahwa di daerah ini pernah ada pusat kegiatan manusia pada masa itu, dimana penduduk di daerah ini telah mengaplikasikan teknologi rekayasa terhadap bentang alamnya, sehingga rekayasa lanskap yang dilakukan dapat mendukung aktifitas mereka. Kini, daerah ini menjadi Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya.

Pendirian Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya

Pada tahun 1984, foto udara (lihat gambar 8) menunjukkan adanya jaringan kanal terpadu, kolam, serta pulau-pulau buatan yang terletak di Karanganyar, tepatnya di tepi utara Sungai Musi. Situs ini adalah salah satu karya lanskap pada masa Kerajaan Sriwijaya. Kemudian oleh pemerintah Sumatera Selatan, kawasan ini dipugar dan dijadikan Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya. TPKS (Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya) diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 22 Desember 1994, ditandai dengan diletakkannya replika prasasti Kedukan Bukit yang menjadi bukti otentik kelahiran dari Kerajaan Sriwijaya.

Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya kini memiliki dua fungsi, yaitu fungsi sebagai area wisata dan pusat informasi Kerajaan Sriwijaya. Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya diharapkan dapat menjadi salah satu tempat yang dapat memberikan masyarakat pengetahuan mengenai Kerajaan Sriwijaya secara menyeluruh, hal ini dikarenakan pengetahuan sejarah mengenai Kerajaan Sriwijaya tidak banyak yang dapat ditemukan seperti sejarah dari kerajaan lainnya. Beberapa area di taman ini masih kosong dan masih akan dieksplorasi kembali untuk dilakukan penggalian temuan purbakala.

Secara administratif, Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya terdapat di koordinat 3°0’54″S   104°44’4″E, Jalan Syakhyakirti, Kelurahan karanganyar, Kecamatan Gandus, Palembang, tepatnya pada dataran meander Sungai Musi yang berhadapan dengan pertemuan Sungai Musi dengan Sungai Ogan dan Kramasan, sekitar empat kilometer di sebelah barat daya pusat kota Palembang. Situs ini memiliki ketinggian kurang dari dua meter dari permukaan Sungai Musi. Di situs ini terdapat warisan lanskap permukiman zaman Kerajaan Sriwijaya berupa pulau buatan, jaringan parit,  dan kanal. Selain itu terdapat pula peninggalan berupa peralatan rumah tangga, sisa perahu, dan struktur batu bata yang menguatkan fakta bahwa pernah terdapat permukiman zaman Sriwikaya pada situs ini.

Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya, Pelestarian Warisan Lanskap Sriwijaya

Situs Karanganyar yang kini menjadi Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya merupakan satu-satunya karya lanskap peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang berada di Palembang. Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya berdiri tepat diatas bekas permukiman masa Kerajaan Sriwijaya. Adanya Situs Karanganyar ini juga membuktikan bahwa pada zaman Sriwijaya kepemimpinan Dapunta Hyang Sri Jayanasa telah diterapkan rekayasa bentang alam.  Hal ini dapat dilihat dari adanya beberapa kanal dan jaringan parit serta pulau buatan di situs ini, menandakan pernah adanya sebuah permukiman padat penduduk pada saat itu, dan penduduk telah membuat suatu rekayasa bentang alam agar alam dapat mendukung kehidupan mereka.

Beberapa jaringan kanal yang dibuat diperkirakan untuk menampung air dari dataran yang lebih tinggi (sebagai tandon air pada saat musim kemarau), sehingga masyarakat dapat menggunakan air bersih untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jaringan kanal ini juga memiliki fungsi untuk keamanan daerah permukiman, agar tidak ada orang asing yang masuk ke wilayah tersebut, dikarenakan lebar kanal yang juga cukup lebar untuk dapat dilewati oleh orang. Kanal ini secara tidak langsung menjadi pagar pembatas antara permukiman dengan daerah di sekitarnya. Sedangkan beberapa jaringan parit yang ada dimaksudkan untuk membuat jalur masuk air ke dalam permukiman. Beberapa pulau buatan yang ada di dalam permukiman tersebut diperkirakan dibuat sebagai area reklamasi dari kanal. Tanah hasil penggalian kanal, tidak dibuang begitu saja, tapi dijadikan pulau-pulau yang dapat digunakan sebagai tempat beristirahat bagi pendatang dari daerah lain dan juga dapat ditanami oleh tanaman pendukung pangan bagi penduduk.

Secara umum, Situs Karanganyar memiliki tiga subsitus dengan area yang terpisah. Subsitus yang terbesar terletak di tengah, yang kini menjadi Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya. Dua situs lainnya yang berupa kolam dan pulau kecil terletak di sisi barat daya dan sisi timur dari subsitus 1. Subsitus 1 dimana terdapat Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya berukuran 623 x 325 meter, memiliki area unggulan wisata, yaitu dua buah pulau kecil yang terdapat di dalam subsitus, yaitu Pulau Nangka dan Pulau Cempaka. Pulau Nangka merupakan pulau dengan ukuran 462 x 325 meter. Pulau Nangka dilengkapi dengan beberapa bangunan penting yaitu Museum Sriwijaya yang menyimpan beberapa koleksi replika peninggalan zaman Kerajaan Sriwijaya. Museum Sriwijaya memiliki zonasi sesuai dengan peralihan zaman, yaitu zaman pra Sriwijaya, zaman Sriwijaya, dan zaman pasca Sriwijaya.

Selain terdapat Museum Sriwijaya, pulau ini juga dilengkapi dengan pendopo agung yang menjadi tempat pagelaran tari. Pulau Nangka dikelilingi oleh parit-parit dengan ukuran 15 x 1190 meter peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang masih ada hingga kini. Berbeda dengan Pulau Nangka, Pulau Cempaka yang memiliki ukuran 40 x 40 meter ini memiliki menara pandang untuk melihat Kota Palembang dari atas (lihat gambar 9), walau jarak pandangnya tidak akan mampu untuk melihat keseluruhan Kota Palembang. Hal ini dikarenakan letak pulau yang datarannya masih di bawah letak permukaan Sungai Musi. Selain itu, terdapat struktur pondasi dari batu bata pada kedalaman 30 sentimeter dengan orientasi timur-barat bekas rumah tinggal pada masa Kerajaan Sriwijaya di pulau ini.

Secara umum, dapat dilihat bahwa pada masa Kerajaan Sriwijaya telah dikenal rekayasa lahan untuk mendukung kehidupan masyarakat di permukiman tersebut. Masyarakat mengubah bentang alam untuk mempermudah menata permukiman mereka. Masyarakat melakukan rekayasa sungai dengan membuat kanal dan parit di sekitar permukiman warga yang bertujuan untuk jalan masuk air dan melindungi permukiman mereka. Selain itu, raja Kerajaan Sriwijaya juga menempatkan berbagai sarana yang dapat mendukung kehidupan masyarakatnya, yaitu pusat peribadatan dan area khusus yang berguna sebagai pusat penghidupan pangan dan papan bagi masyarakatnya. Pusat peribadatan ditempatkan di lahan yang tinggi, yaitu di kawasan berbukit. Salah satunya dapat dilihat di Bukit Siguntang. Sedangkan pusat penghidupan pangan, dan papan ditempatkan di kaki bukit, salah satunya dapat dilihat di kaki Bukit Siguntang, yaitu Taman Sriksetra.

Taman Sriksetra merupakan taman yang dibuat oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa pada 23 Maret 684. Taman ini ditanam beberapa tanaman yang mendukung pangan bagi masyarakat Sriwijaya, diantaranya adalah pohon kelapa, pinang, dan sagu. Selain itu ditanam pula tanaman yang mendukung papan bagi masyarakat Sriwijaya, diantaranya adalah bambu haur. Beberapa bendungan dan kolam juga terdapat di dalam taman ini sebagai tandon air ketika kemarau datang. Pembangunan Taman Sriksetra dimaksudkan untuk menyejahterakan masyarakat Sriwijaya. Agar masyarakat Sriwijaya dapat mengambil manfaat dari taman ini untuk memenuhi kebutuhan pangan dan papan mereka. Selain itu, pada lembah taman ini mengalir beberapa anak sungai yang bermuara di Sungai Musi. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa tersebut raja Sriwijaya telah mempersiapkan area yang dapat mendukung kehidupan masyarakatnya, melihat konteks permukiman Sriwijaya yang terletak di area yang rendah, sehingga membutuhkan sarana dan prasarana untuk dapat bertahan hidup.

Namun sangat disayangkan karena keindahan lanskap peninggalan Kerajaan Sriwijaya kini telah hilang dan beralih fungsi menjadi permukiman modern. Di beberapa titik, sungai Musi sudah tidak menjadi ‘beranda’ depan rumah, melainkan menjadi tempat sampah. Kearifan lokal zaman Sriwijaya kini sudah ditinggalkan oleh masyarakat Palembang karena kebutuhan permukiman yang semakin padat. Beberapa area bersejarah juga kini telah beralih fungsi menjadi kebun kelapa sawit. Hal ini sangat disayangkan karena pembangunan terus menerus dapat merusak alam, selain itu juga sedikit demi sedikit dapat menghapus warisan peninggalan lanskap Kerajaan Sriwijaya yang berharga

Catatan Penutup

Kerajaan Sriwijaya memberikan berbagai warisan sejarah, seperti arca, prasasti, dan tentunya lanskap kawasan. Lanskap kawasan Karanganyar merupakan salah satu peninggalan berharga pada masa Kerajaan Sriwijaya. Kawasan ini menunjukkan bahwa pada masa kepemimpinan Dapunta Hyang Sri Jayanasa pada abad ke 7 telah dibuat sebuah wanua atau permukiman Sriwijaya yang berkembang menjadi pusat kepemimpinan Kerajaan Sriwijaya. Pada kawasan ini telah dibuat kanal-kanal untuk menampung air, parit-parit yang terintegrasi untuk menyalurkan air dari masing-masing rumah panggung, juga pulau-pulau buatan untuk beristirahat bagi pendatang. Kini kawasan bersejarah ini telah menjadi Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya yang diharapkan dapat menjadi salah satu tempat pelestarian peninggalan bersejarah bagi Kerajaan Sriwijaya.

Tulisan ini semata-mata hanya ingin mengembalikan ingatan kita terhadap Kerajaan Sriwijaya, kerajaan terbesar dengan kejayaan maritimnya, yang telah terlupakan selama puluhan dasawarsa.  Melihat pelestarian benda-benda purbakala peninggalan Kerajaan Sriwijaya melalui Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya yang sejarahnya didirikan diatas bekas pemukiman masa Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Menyadari bahwa kemajuan teknologi pembangunan perumahan dan lanskap pada masa itu sudah diaplikasikan, seperti dibuatnya saluran drainase dan kanal untuk menampung air. Menimbulkan kesadaran pribadi untuk melestarikan kearifan lokal yang diturunkan sejak zaman Kerajaan Sriwijaya.

 

Referensi

Jurnal dan Buku

Muljana, Slamet. 2006. Sriwijaya. PT. LKiS Pelangi Aksara.

Wolters, O.W. 1967. Early Indonesian Commerce: A Study of the Origins of Srivijaya. Cornel University.

Zakharov, Anton O. Constructing the polity of Sriwijaya in the 7th – 8th centuries:The view according to the inscriptions. Institute for Oriental Studies. Russian Academy of Sciences, Moscow.

 

Laman

http://id.wikipedia.org/wiki/Taman_Purbakala_Kerajaan_Sriwijaya

http://sumsel.wordpress.com/sriwijaya/

http://palembangnews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=118&Itemid=28

http://kominfo.palembang.go.id/?nmodul=halaman&judul=taman-purbakala-kerajaan-sriwijaya

http://palembangbarri.blogspot.com/2011/02/taman-purbakala-kerajaan-sriwijaya.html

http://epress.anu.edu.au/austronesians/austronesians/mobile_devices/ch15s05.html

http://sumsel.tribunnews.com/2013/09/30/siddhayatra-sriwijaya-asal-muasal-sriwijaya

Click to access sriwijaya.pdf

http://sains.kompas.com/read/2013/05/27/08450379/Kearifan.Sriwijaya.yang.Mulai.Ditinggalkan

http://itspalembang.com/archaeological-park-of-sriwijaya-kingdom-tpks/

http://id.wikipedia.org/wiki/Prasasti_Kedukan_Bukit

http://wisatadanbudaya.blogspot.com/2010/01/taman-kala-purba-yang-tergusur.html

http://www.bkprn.org/depan.php?cat=16&&id=42#

http://wacananusantara.org/taman-sriksetra/

[1] Siddhayatra adalah sebuah perjlanan suci untuk mencapai kesempurnaan agama.

[2] Sumber: http://sumsel.tribunnews.com/2013/09/30/siddhayatra-sriwijaya-asal-muasal-sriwijaya

[3] Literatur yang dimaksud adalah http://id.wikipedia.org/wiki/Taman_Purbakala_Kerajaan_Sriwijaya dan http://wikimapia.org/#lang=en&lat=-3.016702&lon=104.737676&z=16&m=b&search=suak%20bujang

 

Lebih jelasnya, dapat dilihat di attachment ini:

Tugas UAS AL5101 (Final) – Veronika Joan

Menyibak Keindahan Perancis melalui Taman Versailles

Menyibak Keindahan Perancis melalui Taman Versailles

Mengungkap Mitos dalam Elemen Lanskap Taman Versailles

Veronika Joan Putri

Magister Arsitektur Lanskap SAPPK ITB

 

Abstrak. Versailles merupakan salah satu daya tarik utama bagi Perancis. Tempat ini merupakan saksi sejarah yang juga memiliki lanskap yang indah dan megah. Taman Versailles memiliki kurang lebih 50 sculpture di beberapa grotte, parterre, dan fountain atau kolam air mancur yang sarat akan mitos mengenai dewa Yunani, Apollo. Mitos Apollo diasosiasikan dengan sang raja, Louis XIV, yang memiliki lambang Sun King atau Raja Matahari, sama dengan Apollo yang memiliki sebutan Sun God atau Dewa Matahari. Asosiasi ini diwujudkan Louis XIV melalui desain elemen lanskap yang menggambarkan kekuasannya yang tiada batas, seperti sculpture yang dibangun di Grotte de Thetys, Bassine de Latone, Bassin d’Apollon. Tulisan ini akan membahas mengenai mitos-mitos Apollo dan asosiasinya dengan Louis XIV dan kekuasaannya yang absolut, yang tergambar dalam desain elemen lanskap di Taman Versailles.

Kata kunci: Versailles; Apollo; Louis XIV; grotte; fountain.

1       Pendahuluan

Salah satu taman yang menjadi daya tarik bagi Perancis adalah Taman Versailles. Taman ini dirancang oleh Le Notre sebagai arsitek lanskap, dengan bantuan Louis Le Vau sebagai arsitek dan Charles Le Brun sebagai seniman pada rezim kepemimpinan Louis XIV. Versailles secara luas dianggap sebagai manifestasi akhir dari kekuasaan dan otoritas kerajaan. Taman ini dirancang dengan maksud agar taman ini dapat menjadi sejarah akan masa kepemimpinan dan rezimnya. Taman Versailles merupakan taman sebagai masterpiece of ingenuity, dengan skala dan prominence yang sangat besar menjadikan taman ini sebagai taman yang berpengaruh diantara taman formal lain yang Perancis miliki.

Taman Versailles dibangun dengan luas 800 hektar dengan menghancurkan sejumlah perkampungan yang ada di sekitarnya. Taman ini berbatasan di sebelah barat dengan protected wildlife, di sebelah timur dengan area perkotaan, di sebelah tenggara dengan Le Chesnay, di sebelah utara dengan Arboretum de Chevreloup, dan di sebelah selatan dengan Satory Forest.

Keindahan Taman Versailles dapat terlihat langsung dari elemen lanskap yang taman ini miliki, namun terdapat beberapa hal unik yang menjadi daya tarik dari Taman Versailles, terutama adalah mitos yang melatarbelakangi beberapa desain elemen lanskap yang ada. Mitos ini berkaitan erat dengan perwujudannya pada Louis XIV dan juga kepemimpinannya yang absolut.

2       Louis XIV dan Absolutisme

Louis XIV dilahirkan di Royal Chateaux Saint Germain-en-Laye pada tahun 1638. Pada saat umur lima tahun, ia naik tahta menjadi raja, sejenak setelah ayahnya, Louis XIII, meninggal dunia. Pada tahun 1660, Louis XIV menikahi Maria Theresa of Austria. Tepat setahun kemudian, setelah kematian kakek dan perdana menteri Cardinal Mazarin, pada umur 23 ia mendeklarasikan kepemimpinan tunggalnya.

Kekuasaan Louis XIV pada masa itu sangat terlihat dari bangunan grand chateaux yang dibangun untuk monarki. Louis XIV memindahkan pusat kepemerintahannya dari Louvre Palace di Paris ke suatu lokasi yang mampu mengakomodasi keinginan besarnya, dan menyediakan suatu perlindungan kerajaan dari keberadaan kaum urban. Louis XIV memilih suatu daerah yang pernah dibangun oleh ayahnya, Louis XIII, Versailles – the old stone hunting lodge, yang terletak di sisi barat kota Paris. Ia mengubah daerah tersebut menjadi political and social hub dari Perancis. Versailles kemudian menjadi sebuah daerah monumental terhadap absolutisme. [1]

20 tahun pertama pada masa kepemimpinannya, ia menunjukkan kepemimpinan yang brilian. Ia melakukan pemekaran budaya yang luar biasa, seperti pendirian teater, musik, arsitektur, lukisan, patung, dan pendirian akademi kerajaan. Hal ini adalah wujud gagasan Louis XIV bersama Colbert untuk memuliakan kekuasaan raja dan kepemimpinannya melalui seni.

Namun disamping prestasi-prestasinya dalam melakukan pemekaran budaya, ia juga menunjukkan kepemimpinan absolutnya. Ia menilai tahtanya sebagai suatu ‘kebesaran, kemuliaan, dan sesuatu yang menyenangkan’. Ia mulai menciptakan suatu yang hebat di istananya, dimana ia juga menetapkan standar monarki dan aristokrasi untuk seluruh Eropa. Ia menghukum semua orang yang mengingkari ketentuannya. Ia mengidentikkan dirinya dengan Dewa Matahari, Apollo, sang pemimpin yang mampu mengubah segalanya.

“I have no intention of sharing my authority”

“L’état, c’est moi.” (I am the state)

“One king, one law, one faith.”

“The interests of the state must come first”

 

-Louis XIV[2]

3       Mitos Apollo, The Sun God dan Louise XIV, The Sun King

Apollo (bahasa Yunani: Απόλλων) adalah dewa cahaya, musik, pemanah, pengobatan, matahari, dan penyair dalam mitologi Yunani dan mitologi Romawi. Apollo di Romawi dikenal juga dengan nama Foebus atau yang artinya “yang bercahaya”. Apollo sering kali digambarkan sebagai pemuda yang tampan tanpa janggut yang memegang lyre atau alat musik sejenis harpa dan kadang memegang panah (lihat Gambar 4).

Apollo merupakan anak dari Zeus dan Leto dari bangsa Titan (bangsa raksasa yang mengatur bumi hingga akhirnya para dewa dari Olympus turun dan mengatur bumi). Ia dilahirkan di bawah pohon zaitun di Delos pada hari ketujuh Thargelion (dalam tradisi Delos). Kesulitan Leto setelah melahirkan Apollo satu persatu muncul, dimulai dengan Leto yang dikejar oleh Hera, istri Zeus, yang menyuruh raksasa untuk membunuhnya, hingga Leto yang dibiarkan kehausan setelah melahirkan karena tidak diperbolehkan para petani Lycian untuk menyentuh air danau untuk meminta air minum.

Namun dibalik kesulitan masa kecilnya, kehebatan Apollo sudah terlihat sejak masa kecil. Ia mampu bertarung dengan Phyton di gua suci di Delphi dan membunuhnya. Ia juga berhasil menjatuhkan raksasa Titios bersama dengan ayahnya, Zeus, yang berniat untuk membunuh sang ibu, Leto. Apollo kemudian ditahtakan sebagai seorang Dewa Matahari, menggantikan Titan Helios.

Louis XIV menjadikan matahari sebagai lambang kekuasaannya diasosiasikan dengan Apollo, yang mampu menjadi tubuh surgawi yang mampu memberikan kehidupan bagi segala sesuatu, sama seperti terbitnya matahari, dan juga tenggelamnya matahari. Ia juga mengasosiasikan dirinya dengan Apollo karena ia mampu membawa perdamaian, juga menjadi simbol bagi berkembangnya seni (lihat Gambar 5).

Dalam rancangan Versailles, Louis XIV mengkombinasikan penggambaran dan atribut dari Apollo dengan penggambaran dan lambang dirinya pada setiap elemen arsitektur dan lanskap. Penggambaran pada elemen arsitektur digambarkan dengan empat simbol, yaitu double LL, mahkota kerajaan, tongkat, dan tangan keadilan (lihat Gambar 6). Sedangkan pada elemen lanskap, penggambaran tersebut dapat dilihat dengan jelas pada patung-patung di setiap bassin (lihat Gambar 7) dan grotte, dan juga terlihat dari pola taman yang menggambarkan matahari.

4       Grotte de Thetys –Mitos Apollo terkait Kekuasaan Louis XIV

Louis XIV melakukan berbagai perkembangan budaya, salah satunya melalui seni sculpture. Seni sculpture dapat dilihat pada Grotte de Thetys, salah satu elemen yang menceritakan mitos mengenai Apollo. Grotte de Thetys dibangun pada tahun 1664 dan rampung pada tahun 1670, terletak di utara istana, merupakan bangunan berbentuk persegi panjang yang juga menjadi tempat air disimpan. Bangunan ini memiliki façade yang menggambarkan Ovid’s Metamorphoses (lihat Gambar 8). Dihiasi dengan tiga ceruk yang menunjukkan patung Apollo yang dimandikan oleh para peri, kuda yang sedang dicuci, dan Apollo mengendarai kereta matahari di langit siang hari dan kembali ke istana pada malam hari.

Nama Thetys untuk grotte ini diambil untuk menghormati Dewi Thetys, yaitu dewi laut dalam mitologi Yunani . Dia adalah anak bungsu dari Titanides, putri Uranus dan Gaia. Dia melambangkan kesuburan laut, dan setiap malam ia menerima Matahari datang ke tempat tidur setelah perjalanan surgawinya. Grotte de Thetys dibangun sebagai ikon dari istana yang menggambarkan solar imagery atau perwujudan kekuasaan Louis XIV dalam sebuah karya terbangun.

5       Bassin de Latone

Bassin de Latone didesain oleh Andre Le Notre, dengan patung yang didesain oleh Gaspard dan Balthazar Marsy. Basin ini dibangun antara tahun 1668-1670, dengan nuansa mitos yang menggambarkan sebuah episode dari Ovid’s Metamorphoses. Episode yang diceritakan adalah dimana putri dari bangsa Titan, yang dicintai oleh Jupiter, melahirkan dua anak, yaitu Apollo dan Artemis, di bawah pohon zaitun. Suatu saat, ketika Latona sedang beristirahat di tanah Caryae, ia meminta beberapa petani Lycian memberikan air untuk melegakan dahaganya. Namun petani tersebut tidak memberikan air tersebut dan melemparkan lumpur kepadanya. Kemudian Latona meminta Jupiter untuk mengubah petani tersebut menjadi katak.  Episode dari mitologi ini dipilih sebagai alegori untuk pemberontakan dari Fronde, yang terjadi selama minoritas rezim Louis XIV.

6       Bassin d’Apollon

Selain Bassin de Latone yang sarat akan mitos, Bassin d’Apollon juga memiliki mitos yang merepresentasikan kepemimpinan Louis XIV. Bassin d’Apollon atau Apollo Fountain (lihat Gambar 10) terletak di sepanjang sumbu timur dan barat Versailles, dibangun sekitar tahun 1668-1671. Pada tahun 1661, Louis XIV memperkenalkan kekuatan pribadinya, menjadikan kekuatan matahari sebagai simbol sejatinya. Pada patung Apollo Fountain ini, Apollo digambarkan sedang mengendarai kereta mataharinya, dengan empat penunggang meniup kulit kerang yang dikelilingi oleh kadal-kadal air dan lumba-lumba, menandakan terbitnya matahari. Hal ini diasosiasikan dengan Louis XIV yang menandakan terbitnya Perancis.

7       Catatan Penutup

Suatu karya arsitektur atau lanskap dapat merepresentasikan suatu hal, termasuk kekuasaan. Pada masa kepemimpinan Louis XIV, ia merepresentasikan kekuasaannya tidak hanya melalui pemikiran ataupun ideologi, melainkan dengan suatu karya arsitektur dan lanskap yang grande, yang menjadi sejarah sepanjang zaman. Versailles – karya megah yang menjadi sejarah, merepresentasikan kekuasaan Louis XIV melalui patung-patung pada desain grotte dan bassin. Patung-patung ini menggambarkan mitos-mitos Apollo, The Sun God, yang merepresentasikan sang raja, Louis XIV, The Sun King.

Tulisan ini dibuat semata-mata untuk membuka pandangan kita terhadap sejarah taman Perancis yang termegah, Versailles. Melihat kembali mitos-mitos Yunani yang diasosiasikan dengan Louis XIV dan kekuasaannya, dan memahami desain elemen-elemen lanskap yang mampu menceritakan kembali sejarah.

8       Referensi

Buku

D’Hoste, Jean Georges. (2001). All Versailles – English Edition. Italy.

Geoffrey and Jellicoe, Susan. (1995). The Landscape of Man – Third Edition. London.

Oldham, John. (1980). Gardens In Time. Lansdowne Press. Sydney.

Pregill, Philip and Volkman, Nancy. (1993). Landscapes in History. New York.

Laman

http://en.wikipedia.org/wiki/versailles (diakses pada 20 Oktober 2013)

http://courses.umass.edu/latour/France/gale/index.html (diakses pada 20 Oktober 2013)

http://aisyahyangedukatif.blogspot.com/2010/09/tentang-raja-louis-xiv-dan-istananya.html (diakses pada 20 Oktober 2013)

http://travel.kompas.com/read/2011/09/20/16045063/Istana.Versailles.Tempat.Ratu.Pop.Marie.Antoinette.Berpesta. (diakses pada 20 Oktober 2013)

http://www.gutenberg.org/files/14857/14857-h/14857-h.htm  (diakses pada 20 Oktober 2013)

http://www.maicar.com/GML/Apollo.html (diakses pada 25 Oktober 2013)

http://staff.gps.edu/mines/AgeofAbsoluLouisXIV.htm (diakses pada 25 Oktober 2013)

http://www.metmuseum.org/toah/works-of-art/25.142.61 (diakses pada 25 Oktober 2013)

http://www.historylearningsite.co.uk/absolutism_and_france.htm (diakses pada 25 Oktober 2013)

 

 

 

[1] Sub bab Enlightenment and Romanticm: Political Absolutism. Halaman 239-242.  Pregill, Philip and Volkman, Nancy. (1993). Landscapes in History. New York.

[2] http://www.historylearningsite.co.uk/absolutism_and_france.htm (diakses pada 25 Oktober 2013)

[3] Michel Molart: Louis XIV as Apollo (25.142.61)”. In Heilbrunn Timeline of Art History. New York: The Metropolitan Museum of Art, 2000–. http://www.metmuseum.org/toah/works-of-art/25.142.61 (August 2009)

 

Lebih jelasnya, dapat dilihat attachment ini:

UTS AL 5101 Menyibak Keindahan Versailles – Veronika Joan